Minggu, 14 Juni 2009

Dinamika Sosial Masyarakat Indonesia Di Lihat Dari Sisi Pertanian

Bila dilihat dari aspek historis, titik awal dinamika sosial masyarakat Indonesia dari sudut pandang pertanian sebenarnya telah dimulai ketika pemerintah Orde Baru mencanangkan program kebijakan Revolusi Hijau. Untuk diketahui, kebijakan Revolusi Hijau adalah suatu program pemerintah dalam hal pertanian, yang khusus berfokus pada kuantitas, dengan dukungan teknologi pertanian, serta pupuk, pestisida, dan benih ‘unggul’ yang diimpor dari negara-negara industrialis pertanian. Memang pada awalnya, program Revolusi Hijau yang dicanangkan pemerintah Orde Baru terlihat sukses, puncak kesuksesan Revolusi Hijau tersebut adalah saat Indonesia menerima penghargaan dari PBB (tahun 1984) dalam hal swasembada pangan. Hal itu seakan menunjukkan eksistensi Indonesia sebagai salah satu negara penghasil pangan dunia.

Akan tetapi, bila ditinjau dari aspek SDM (Sumber Daya Manusia) dalam rangka pemanfaatan dan pemberdayaan teknologi maupun benih-benih yang diimpor dari negara industrialis pertanian, tampak jelas adanya sikap mental yang belum siap menerima teknologi tersebut. Kurang siapnya mental SDM tersebut tidak lepas pula dari kurangnya peran pemerintah dalam hal pemberdayaan masyarakat akan pengenalan teknologi, baik imbas yang akan diterima maupun dari segi fungsional teknologi itu sendiri. Masyarakat yang serta-merta menerima dan mengadopsi teknologi tersebut kurang mempertimbangkan imbas yang akan diperoleh.

Hal itu tidak lepas pula dari aspek historis masyarakat Indonesia, dimana pengetahuan masyarakat akan adanya sistem pertanian konvensional kurang memadai, dan penerapan pemerintah dalam melakukan penyuluhan penggunaan dan pemberdayaan teknologi melalui PPL (petugas lapangan), kurang menunjukkan hasil yang signifikan, dikarenakan metode pengenalan teknologi tidak disertai dengan pengetahuan yang memadai kepada para petani, akan imbas negatif dari penggunaan teknologi yang melampaui batas tersebut. PPL hanya mengungkapkan kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh teknologi baru tersebut dalam rangka meningkatkan kuantitas atau hasil pertanian secara instan, karena petani tidak perlu repot-repot menggunakan metode tradisional dalam penggarapannya, melainkan dengan metode konvensional yang dicanangkan pemerintah mampu mendapatkan hasil yang lebih banyak dan cepat, tetapi seperti yang telah diungkapkan di atas, hal itu tidak dibarengi dengan pengetahuan yang menyeluruh akan imbas teknologi itu sendiri.

Revolusi Hijau yang dicanangkan pemerintah Orde Baru juga didukung oleh ideologi maximixing profit, dimana dalam penerapannya untuk mendapatkan kuantitas produk pertanian yang maksimal, pemerintah menggunakan peran serta militer dalam hal intervensi kepada para petani. Intervensi pemerintah melalui militer tersebut, dilakukan dengan cara pengharusan tanam padi dari benih-benih yang telah ditetapkan oleh pemerintah, apabila petani tidak menggunakan benih-benih dari pemerintah sesuai dengan program yang dianjurkan, maka petani akan kehilangan hak mereka untuk bertani, hasil dari lahan pertaniannya akan dicabut.

Fenomena tersebut memiliki imbas yang cukup besar di sektor pertanian Indonesia, antara lain benih-benih lokal mulai punah, hilangnya culture pertanian dengan memanfaatkan alam, maupun terganggunya ekosistem lingkungan hidup, karena unsur hara yang terkandung dalam tanah semakin hari justru semakin menipis yang tidak diimbangi dengan kesadaran untuk memulihkannya.

Dikarenakan akan keterbiasaan masyarakat tani akan cara bercocok tanam dengan cara demikian. Maka setiap usaha pertanian yang dilakukan oleh para petani Indonesia menjadi cenderung lebih banyak menggunakan suatu sistem pertanian yang berlandaskan penggunaan zat kimia. Dari mulai pupuk sampai insektisida buatan yang terbuat dari zat kimia yang tidak ramah lingkungan kerap digunakan oleh masyarakat tani ( petani ) di Indonesia. Penggunaannya pun tidak jarang melebihi ambang batas dari pengunaan yang direkomendasikan, dengan harapan mereka dapat meningkatkan hasil pertanian yang tengah diusahakan.

Hasil pertanian pertama - tama akan tampak melimpah dan berbuah hasil tinggi. Tingkat panen menjadi tinggi, namun ketika tahunan atau puluhan tahun kemudian dirasakan penurunan yang cukup signifikan terhadap produktivitas lahan yang diusahakan. Lahan yang telah terkontaminasi oleh zat kimia berbahaya dari pengunaan pupuk dan insektisida buatan telah mencuci unsur hara yang ada pada lahan. Produktivitas lahan menjadi turun sehingga hasil panen pun akan semakin berkurang. Penurunan produktivitas lahan ini kemudian cenderung mendorong para petani untuk menggunakan pupuk buatan pada lahan lebih banyak dari takaran semulanya. Penggunaan pupuk buatan yang lebih besar ini justru menimbulkan masalah yang lebih pelik bagi masyarakat tani yang ada. Penggunaan pupuk buatan yang lebih besar tersebut justru akan meningkatkan tingkat pengeluaran para petani untuk mengelola usahanya tersebut dibanding dari hasil panen yang diperoleh yang jumlahnya semakin lama semakin menurun.

Semakin lama kondisi ini akan menunjukan suatu titik jenuh tersendiri bagi masyarakat Indonesia untuk bergelut dan menitik usaha dengan cara bertani. Sebagai bukti, tidak jarang penduduk desa yang kehilangan pekerja tani yang ada yang cenderung memilih berpindah pekerjaan menjadi buruh bangunan, pedagang, atau melakukan usaha lainnya selain pada bidang pertanian. Titik jenuh ini sendiri dirasakan karena usaha dibidang pertanian tidak lagi mendatangkan keuntungan bagi orang atau masyarakat yang mengusahakannya. Nilai pengeluaran meningkat tajam dikarenakan akan harga pupuk dan insektisida buatan yang sering dipergunakan naik dan tidak sebanding dengan hasil panen yang didapatkan. Dan hal tersebut sebuah ketergantungan yang tidak baik dari masyarakat tani Indonesia dari suatu proses dinamika sosial yang terbentuk akibat ketidaksiapan masyarakat Indonesia dalam menerima perubahan dan masukan teknologi secara tiba – tiba.

Kebiasaan yang seharusnya dapat dihilangkan ini dari benak masyarakat ternyata sulit untuk diantisipasi. Sebagian masyarakat tetap menggunakan pupuk dan insektisida buatan dalam usaha pertaniannya dan dilakukan dengan jumlah yang berlebih. Dan sebagian masyarakat tani berubah profesi dari petani menjadi profesi lainnya. Lahan pertanian pun semakin lama menjadi semakin menyempit. Pengambilalihan lahan menjadi pemukiman, pertokoan kerap ditemui pada saat ini. Sawah – sawah beririgasi teknik pun yang telah dibuat bertahun – tahun dengan biaya yang tidak sedikit, kini mulai hilang dan beralihfungsi seperti diatas.

Masyarakat pada masa kini telah berubah, pola pikir mereka terhadap pertanian semakin lama semakin memudar dikarenakan asumsi mereka akan pertanian merupakan sesuatu yang tidak menguntungkan lagi. Pola pikir, sosial, dan budaya masyarakat telah berubah ( berdinamis ) dari arah yang agraris menjadi condong ke arah indusrialis yang cenderung meninggalkan pertanian. Dinamika sosial demikian merupakan suatu contoh dampak buruk dari dinamika sosial masyarakat Indonesia akibat dari ketidaksiapan masyarakat Indonesia sendiri dalam menerima masukan berupa hal baru baik budaya,pemikiran, maupun teknologi yang baru.