Minggu, 14 Juni 2009

Dinamika Sosial Masyarakat Indonesia Di Lihat Dari Sisi Pertanian

Bila dilihat dari aspek historis, titik awal dinamika sosial masyarakat Indonesia dari sudut pandang pertanian sebenarnya telah dimulai ketika pemerintah Orde Baru mencanangkan program kebijakan Revolusi Hijau. Untuk diketahui, kebijakan Revolusi Hijau adalah suatu program pemerintah dalam hal pertanian, yang khusus berfokus pada kuantitas, dengan dukungan teknologi pertanian, serta pupuk, pestisida, dan benih ‘unggul’ yang diimpor dari negara-negara industrialis pertanian. Memang pada awalnya, program Revolusi Hijau yang dicanangkan pemerintah Orde Baru terlihat sukses, puncak kesuksesan Revolusi Hijau tersebut adalah saat Indonesia menerima penghargaan dari PBB (tahun 1984) dalam hal swasembada pangan. Hal itu seakan menunjukkan eksistensi Indonesia sebagai salah satu negara penghasil pangan dunia.

Akan tetapi, bila ditinjau dari aspek SDM (Sumber Daya Manusia) dalam rangka pemanfaatan dan pemberdayaan teknologi maupun benih-benih yang diimpor dari negara industrialis pertanian, tampak jelas adanya sikap mental yang belum siap menerima teknologi tersebut. Kurang siapnya mental SDM tersebut tidak lepas pula dari kurangnya peran pemerintah dalam hal pemberdayaan masyarakat akan pengenalan teknologi, baik imbas yang akan diterima maupun dari segi fungsional teknologi itu sendiri. Masyarakat yang serta-merta menerima dan mengadopsi teknologi tersebut kurang mempertimbangkan imbas yang akan diperoleh.

Hal itu tidak lepas pula dari aspek historis masyarakat Indonesia, dimana pengetahuan masyarakat akan adanya sistem pertanian konvensional kurang memadai, dan penerapan pemerintah dalam melakukan penyuluhan penggunaan dan pemberdayaan teknologi melalui PPL (petugas lapangan), kurang menunjukkan hasil yang signifikan, dikarenakan metode pengenalan teknologi tidak disertai dengan pengetahuan yang memadai kepada para petani, akan imbas negatif dari penggunaan teknologi yang melampaui batas tersebut. PPL hanya mengungkapkan kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh teknologi baru tersebut dalam rangka meningkatkan kuantitas atau hasil pertanian secara instan, karena petani tidak perlu repot-repot menggunakan metode tradisional dalam penggarapannya, melainkan dengan metode konvensional yang dicanangkan pemerintah mampu mendapatkan hasil yang lebih banyak dan cepat, tetapi seperti yang telah diungkapkan di atas, hal itu tidak dibarengi dengan pengetahuan yang menyeluruh akan imbas teknologi itu sendiri.

Revolusi Hijau yang dicanangkan pemerintah Orde Baru juga didukung oleh ideologi maximixing profit, dimana dalam penerapannya untuk mendapatkan kuantitas produk pertanian yang maksimal, pemerintah menggunakan peran serta militer dalam hal intervensi kepada para petani. Intervensi pemerintah melalui militer tersebut, dilakukan dengan cara pengharusan tanam padi dari benih-benih yang telah ditetapkan oleh pemerintah, apabila petani tidak menggunakan benih-benih dari pemerintah sesuai dengan program yang dianjurkan, maka petani akan kehilangan hak mereka untuk bertani, hasil dari lahan pertaniannya akan dicabut.

Fenomena tersebut memiliki imbas yang cukup besar di sektor pertanian Indonesia, antara lain benih-benih lokal mulai punah, hilangnya culture pertanian dengan memanfaatkan alam, maupun terganggunya ekosistem lingkungan hidup, karena unsur hara yang terkandung dalam tanah semakin hari justru semakin menipis yang tidak diimbangi dengan kesadaran untuk memulihkannya.

Dikarenakan akan keterbiasaan masyarakat tani akan cara bercocok tanam dengan cara demikian. Maka setiap usaha pertanian yang dilakukan oleh para petani Indonesia menjadi cenderung lebih banyak menggunakan suatu sistem pertanian yang berlandaskan penggunaan zat kimia. Dari mulai pupuk sampai insektisida buatan yang terbuat dari zat kimia yang tidak ramah lingkungan kerap digunakan oleh masyarakat tani ( petani ) di Indonesia. Penggunaannya pun tidak jarang melebihi ambang batas dari pengunaan yang direkomendasikan, dengan harapan mereka dapat meningkatkan hasil pertanian yang tengah diusahakan.

Hasil pertanian pertama - tama akan tampak melimpah dan berbuah hasil tinggi. Tingkat panen menjadi tinggi, namun ketika tahunan atau puluhan tahun kemudian dirasakan penurunan yang cukup signifikan terhadap produktivitas lahan yang diusahakan. Lahan yang telah terkontaminasi oleh zat kimia berbahaya dari pengunaan pupuk dan insektisida buatan telah mencuci unsur hara yang ada pada lahan. Produktivitas lahan menjadi turun sehingga hasil panen pun akan semakin berkurang. Penurunan produktivitas lahan ini kemudian cenderung mendorong para petani untuk menggunakan pupuk buatan pada lahan lebih banyak dari takaran semulanya. Penggunaan pupuk buatan yang lebih besar ini justru menimbulkan masalah yang lebih pelik bagi masyarakat tani yang ada. Penggunaan pupuk buatan yang lebih besar tersebut justru akan meningkatkan tingkat pengeluaran para petani untuk mengelola usahanya tersebut dibanding dari hasil panen yang diperoleh yang jumlahnya semakin lama semakin menurun.

Semakin lama kondisi ini akan menunjukan suatu titik jenuh tersendiri bagi masyarakat Indonesia untuk bergelut dan menitik usaha dengan cara bertani. Sebagai bukti, tidak jarang penduduk desa yang kehilangan pekerja tani yang ada yang cenderung memilih berpindah pekerjaan menjadi buruh bangunan, pedagang, atau melakukan usaha lainnya selain pada bidang pertanian. Titik jenuh ini sendiri dirasakan karena usaha dibidang pertanian tidak lagi mendatangkan keuntungan bagi orang atau masyarakat yang mengusahakannya. Nilai pengeluaran meningkat tajam dikarenakan akan harga pupuk dan insektisida buatan yang sering dipergunakan naik dan tidak sebanding dengan hasil panen yang didapatkan. Dan hal tersebut sebuah ketergantungan yang tidak baik dari masyarakat tani Indonesia dari suatu proses dinamika sosial yang terbentuk akibat ketidaksiapan masyarakat Indonesia dalam menerima perubahan dan masukan teknologi secara tiba – tiba.

Kebiasaan yang seharusnya dapat dihilangkan ini dari benak masyarakat ternyata sulit untuk diantisipasi. Sebagian masyarakat tetap menggunakan pupuk dan insektisida buatan dalam usaha pertaniannya dan dilakukan dengan jumlah yang berlebih. Dan sebagian masyarakat tani berubah profesi dari petani menjadi profesi lainnya. Lahan pertanian pun semakin lama menjadi semakin menyempit. Pengambilalihan lahan menjadi pemukiman, pertokoan kerap ditemui pada saat ini. Sawah – sawah beririgasi teknik pun yang telah dibuat bertahun – tahun dengan biaya yang tidak sedikit, kini mulai hilang dan beralihfungsi seperti diatas.

Masyarakat pada masa kini telah berubah, pola pikir mereka terhadap pertanian semakin lama semakin memudar dikarenakan asumsi mereka akan pertanian merupakan sesuatu yang tidak menguntungkan lagi. Pola pikir, sosial, dan budaya masyarakat telah berubah ( berdinamis ) dari arah yang agraris menjadi condong ke arah indusrialis yang cenderung meninggalkan pertanian. Dinamika sosial demikian merupakan suatu contoh dampak buruk dari dinamika sosial masyarakat Indonesia akibat dari ketidaksiapan masyarakat Indonesia sendiri dalam menerima masukan berupa hal baru baik budaya,pemikiran, maupun teknologi yang baru.

Shearing Resistance

Shearing Resistance adalah ketahanan dari tanah untuk melawan gaya yang menyebabkan pergeserannya secara horizontal. Satuan besaran ini juga dinyatakan dalam satuan gaya persatuan luas (kg/cm2).

Matrix suction meningkatkan tegangan efektif dalam seluruh massa tanah dan memperbaiki stabilitas lereng (peningkatan matrix suction berdasarkan hubungan c = c’ + (Ua – UO – tan Pb) (Ho & Fredlund, 1982, dalam Abramson, dkl, 1996) dengan c : kohesi total tanah, c’ : kohesi efektif , (Ua – UO : matrix suction, (Pb : suatu sudut yang menunjukan variasi pertambahan kuat geser relatif terhadap matrix suction ( Ua U’)). Matrix suction berkurang apabila kondisi tanah berangsur-angsur menjadi kenyang air (selama dan sesudah hujan lebat dengan durasi lama)

Pada kondisi tanah kering air, besarnya kuat geser tanah (shear strength of soil) dinyatakan sesuai hubungan Coulomb (r = c’ + cr’ tan (p’ dan cr’ = cy – u), (Coulomb, 1776, dalam Braja, 1994). dengan r : kuat geser tanah, c’ : kohesi efektif, (Ī³’ tegangan efektif, cr : tegangan total, u : tegangan air pori, dan ( p’ sudut gesek internal efektif tanah).

Untuk kondisi tanah tidak kenyang air (unsaturated), besarnya kuat geser tanah dipengaruhi oleh matrix suction ( Tff = c’ + CFf – Ua)f . tan (P’ + (u,,-u,)f. tan W, dan c = c’ + (Ua-U,)f – tan Tb dengan c : total kohesi tanah, c’ kohesi efektif, (ua – u,)f : matrix suction pada kondisi runtuh, ((Tf Ua)f : tegangan normal netto pada kondisi runtuh, (p’ : sudut gesek internal efektif atau sudut gesek internal berhubungan dengan tegangan normal netto (Abramson, dkk., 19996 ; Fredlund, dkk., 1978).

Cone Index

Cone index merupakan besaran yang menunjukkan harga ketahanan tanah terhadap gaya penetrasi dari cone (vertikal) dibagi luas dasar cone. Satuan besaran ini dinyatakan dalam satuan gaya persatuan luas (kg/cm2). Cone index atau index kerucut suatu tanah adalah untuk menahan gaya penetrasi kerucut, dengan menggunakan penetrometer adalah suatu teknik peluang untuk mendapatkan index kerucut tanah. Didalam praktikum ini, kita menggunakan penetrometer denagn kombinasi dari suatu sensor kapasitansi dan suatu ASAE tangkai penetrasi standard diuraikan. TDR yang dibandingkan dengan mengkombinasikan penetrometer, didapat beberapa keuntungan,yaitu :

  1. Tanggapan cepat untuk pengukuran yang berlanjut ·
  2. Biaya rendah dengan ketelitian yang cukup ·
  3. Ketahanan atau kekuatan relatif dalam kaitan dengan stuktur geometrisnya


Cara Mengukur Cone Index:
  1. Pasang cone pada ujung penetrometer.
  2. Tergakkkan secara vertkal pada tanah yang akan diuji.
  3. Tekankan kedalam tanah dengan gaya tekan yang tetap sampai ujung cone berada di bawah permukaan tanah.
  4. Pada kedalaman tertentu dibaca besarnya tekanan vertikal yang diberikan untuk menekan alat tersebut.

PEMANASAN GLOBAL DAN EMISI KARBON

PEMANASAN GLOBAL DAN EMISI KARBON

AKIBAT PEMBUKAAN HUTAN YANG TIDAK BIJAK

Oleh

Derry Ariadi


1. Efek Rumah Kaca

Efek rumah caca dapat divisualisasikan sebagai sebuah proses. Pada kenyataannya, di lapisan atmosfer terdapat selimut gas. Rumah kaca adalah analogi atas bumi yang dikelilingi gelas kaca. Panas matahari masuk ke bumi dengan menembus gelas kaca tersebut berupa radiasi gelombang pendek. Sebagian diserap oleh bumi dan sisanya dipantulkan kembali ke angkasa sebagai radiasi gelombang panjang. Namun, panas yang seharusnya dapat dipantulkan kembali ke angkasa menyentuh permukaan gelas kaca dan terperangkap di dalam bumi. Layaknya proses dalam rumah kaca di pertanian dan perkebunan, gelas kaca memang berfungsi menahan panas untuk menghangatkan rumah kaca. Masalah timbul ketika aktivitas manusia menyebabkan peningkatan konsentrasi selimut gas di atmosfer (gas rumah kaca) sehingga melebihi konsentrasi yang seharusnya. Maka, panas matahari yang tidak dapat dipantulkan ke angkasa akan meningkat pula. Semua proses tersebut disebut efek rumah kaca. Pemanasan global dan perubahan iklim merupakan dampak dari efek rumah kaca.

Efek rumah kaca terjadi alami karena memungkinkan kelangsungan hidup semua makhluk di bumi. Tanpa adanya gas rumah kaca, seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), atau dinitro oksida (N2O), suhu permukaan bumi akan 33 derajat celcius lebih dingin. Sejak awal jaman industrialisasi, awal akhir abad ke-17, konsentrasi gas rumah kaca meningkat drastis. Di perkirakan pada tahun 1880 temperatur rata-rata bumi meningkat 0.5 – 0.6 derajat celcius akibat emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari aktivitas manusia.

Yang termasuk dalam kelompok gas rumah kaca adalah karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitro oksida (N2O), hidrofluorokarbon (HFC), perfluorokarbon (PFC), sampai sulfur heksafluorida (SF6). Jenis GRK yang memberikan sumbangan paling besar bagi emisi gas rumah kaca adalah karbondioksida, metana, dan dinitro oksida. Sebagian besar dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil (minyak bumi dan batu bara) di sektor energi dan transport, penggundulan hutan, dan pertanian. Sementara, untuk gas rumah kaca lainnya (HFC, PFC, SF6 hanya menyumbang kurang dari 1%.

Sumber-sumber emisi karbondioksida secara global dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil (minyak bumi dan batu bara):

· 36% dari industri energi (pembangkit listrik/kilang minyak, dll)

· 27% dari sektor transportasi

· 21% dari sektor industri

· 15% dari sektor rumah tangga & jasa

· 1% dari sektor lain-lain.

2. Pemanasan Global

Pemanasan global adalah meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi akibat peningkatan jumlah emisi gas rumah kaca di atmosfer. Pemanasan global akan diikuti dengan perubahan iklim, seperti meningkatnya curah hujan di beberapa belahan dunia sehingga menimbulkan banjir dan erosi. Sedangkan, di belahan bumi lain akan mengalami musim kering yang berkepanjangan disebabkan kenaikan suhu.

Pemanasan global dan perubahan iklim terjadi akibat aktivitas manusia, terutama yang berhubungan dengan penggunaan bahan bakar fosil (minyak bumi dan batu bara) serta kegiatan lain yang berhubungan dengan hutan, pertanian, dan peternakan. Aktivitas manusia di kegiatan-kegiatan tersebut secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan perubahan komposisi alami atmosfer, yaitu peningkatan jumlah gas rumah kaca secara global, salah satunya gas karbon.

Akan tetapi sesungguhnya, gas karbon dioksida bukanlah suatu masalah. Gas karbon dioksida adalah salah satu yang menunjang kehidupan di atas bumi. Tanpa gas karbon dioksida didalam atmospir, bumi tidak bisa mendukung kehidupan sebab temperatur bumi akan terlalu dingin dan semua air akan membeku. Gas karbon dioksida adalah suatu peredam kuat sinar inframerah, gas karbon dioksida akan menyerap panas yang dipancarkan bumi dan dipantulkan kembali. Ini adalah sebagai efek rumah kaca. Proses tersebut merupakan suatu proses alami yang sangat penting bagi terbentuknya kehidupan di bumi. Bagaimanapun, ketika ada terlalu banyak gas karbon dioksida didalam atmospir, efek rumah kaca diintensifkan, hal tersebut akan menyebabkan suatu masalah bagi lingkungan. Sebelum masa revolusi industri, konsentrasi gas karbon dioksida didalam atmospir adalah 280 ppm. Sejak tahun 1880, akibat dari peningkatan pembakaran bahan bakar fosil sebagai suatu sumber energi, konsentrasi CO2 telah dengan mantap bangkit sebanyak kira-kira 1,5 ppm/tahun sehingga kandungan gas karbon dioksida dalam atmosfir pada saat ini mencapai 365 ppm.

Konsentrasi gas karbon dioksida akan terus meningkat kecuali jika emisi/pancaran dari bahan bakar fosil dibatasi atau dihentikan bersama-sama. Sedangkan emisi karbon dioksida umumnya berasal dari minyak bumi, terutama dari gas alam, minyak bumi dan batubara, dari tahun ke tahun sebagai penyumbang terbanyak emisi gas CO2 dimuka bumi ini.

Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) memperkirakan konsentrasi gas karbon dioksida didalam atmosfir akan naik menjadi sekitar 540 - 940 ppm pada tahun 2100. Kenaikan rata-rata konsentrasi gas CO2 akan mengakibatkan kenaikan suhu rata-rata di bumi, hal tersebut mengakibatkan efek pemanasan global, yang akan mempengaruhi perubahan iklim setempat di bumi, pada akhirnya tentu akan mempengaruhi kehidupan di bumi.

Kenaikan suhu bumi rata-rata secara global akan mempengaruhi cuaca dan iklim setempat di bumi yang mengakibatkan kenaikan suhu ekstrim di wilayah tertentu, dampaknya tentu terhadap kehidupan di wilayah tersebut.

Efek rumah kaca adalah penyebab, sementara pemanasan global dan perubahan iklim adalah akibat. Efek rumah kaca menyebabkan terjadinya akumulasi panas (atau energi) di atmosfer bumi. Dengan adanya akumulasi yang berlebihan tersebut, iklim global melakukan penyesuaian. Penyesuaian yang dimaksud salah satunya peningkatan temperatur bumi, kemudian disebut pemanasan global dan berubahnya iklim regional, pola curah hujan, penguapan, pembentukan awan disebut perubahan iklim.

Adapun dampak yang dapat ditimbulkan akibat perubahan iklim secara global adalah sebagai berikut:

· Musnahnya berbagai jenis keanekragaman hayati

· Meningkatnya frekuensi dan intensitas hujan badai, angin topan, dan banjir

· Mencairnya es dan glasier di kutub

· Meningkatnya jumlah tanah kering yang potensial menjadi gurun karena kekeringan yang berkepanjangan

· Kenaikan permukaan laut hingga menyebabkan banjir yang luas. Pada tahun 2100 diperkirakan permukaan air laut naik hingga 15 - 95 cm.

· Kenaikan suhu air laut menyebabkan terjadinya coral bleaching dan kerusakan terumbu karang di seluruh dunia

· Meningkatnya frekuensi kebakaran hutan

· Menyebarnya penyakit-penyakit tropis, seperti malaria, ke daerah-daerah baru karena bertambahnya populasi serangga (nyamuk)

· Daerah-daerah tertentu menjadi padat dan sesak karena terjadi arus pengungsian.

Pada tahun 1988, Badan PBB untuk lingkungan (United Nations Enviroment Programme) dan organisasi meteorologi dunia (World Meteorology Organization) mendirikan sebuah panel antar pemerintah untuk perubahan iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change/IPCC) yang terdiri atas 300 lebih pakar Perubahan Iklim dari seluruh dunia. Pada tahun 1990 dan 1992, IPCC menyimpulkan bahwa penggandaan jumlah gas rumah kaca di atmosfer mengarah pada konsekuensi serius bagi masalah sosial, ekonomi, dan sistem alam di dunia. Selain itu, IPCC menyimpulkan bahwa emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari aktivitas manusia juga memberikan kontribusi pada gas rumah kaca alami dan akan menyebabkan atmosfer bertambah panas. IPCC memperkirakan penggandaan emisi gas rumah kaca akan menyebabkan pemanasan global sebesar 1,5 – 4,5 derajat celcius.

El Nino adalah fenomena alami yang telah terjadi sejak berabad-abad yang lalu, walaupun tidak selalu dengan pola yang sama. El Nino merupakan gelombang panas di garis ekuator Samudera Pasifik. Kini, El Nino muncul setiap 2 – 7 tahun, lebih kuat dan berkontribusi pada peningkatan temperatur bumi. Dampaknya dapat dirasakan di seluruh dunia dan menunjukkan bahwa iklim di bumi benarbenar berhubungan. Para ilmuwan menguji bagaimana pemanasan global yang diakibatkan oleh aktivitas manusia dapat mempengaruhi El Nino: akumulasi gas rumah kaca di atmosfer “membantu” menyuntikkan panas ke Samudera Pasifik. Oleh karena itu, El Nino muncul lebih sering dan lebih ganas dari sebelumnya.

Masalah lingkungan dan kesehatan manusia yang terkait dengan penipisan lapisan ozon sesungguhnya berbeda dengan resiko yang dihadapi manusia dari akibat pemansan global. Walaupun begitu, kedua fenomena tersebut saling berhubungan. Beberapa polutan (zat pencemar) memberikan kontribusi yang sama terhadap penipisan lapisan ozon dan pemansan global. Penipisan lapisan ozon mengakibatkan masuknya lebih banyak radiasi sinar ultraviolet (UV) yang berbahaya masuk ke permukaan bumi. Namun, meningkatnya radiasi sinar UV bukanlah penyebab terjadinya pemansan global, melainkan kanker kulit, penyakit katarak, menurunnya kekebalan tubuh manusia, dan menurunnya hasil panen. Penipisan lapisan ozon terutama disebabkan oleh chlorofluorcarbon (CFC). Saat ini negara-negara industri sudah tidak memproduksi dan menggunakan CFC lagi. Dan, dalam waktu dekat, CFC akan benar-benar dihapus di seluruh dunia. Seperti halnya karbondioksida, CFC juga merupakan Gas rumah kaca dan berpotensi terhadap pemansan global jauh lebih tinggi dibanding karbondioksida sehingga dampak akumulasi CFC di atmosfer mempercepat laju pemansan global. CFC akan tetap berada di atmosfer dalam waktu sangat lama, berabad-abad. Artinya, kontribusi CFC terhadap penipisan lapisan ozon dan perubahan iklim akan berlangsung dalam waktu sangat lama.

3. Pemanasan Global , Emisi Karbon Dan Perubahan Iklim

Pemanasan global terjadi ketika ada konsentrasi gas-gas tertentu yang dikenal dengan gas rumah kaca, yg terus bertambah di udara, Hal tersebut disebabkan oleh tindakan manusia, kegiatan industri, khususnya CO2 dan chlorofluorocarbon. Yang terutama adalah karbon dioksida, yang umumnya dihasilkan oleh penggunaan batubara, minyak bumi, gas dan penggundulan hutan serta pembakaran hutan. Asam nitrat dihasilkan oleh kendaraan dan emisi industri, sedangkan emisi metan disebabkan oleh aktivitas industri dan pertanian.

Chlorofluorocarbon CFCs merusak lapisan ozon seperti juga gas rumah kaca menyebabkan pemanasan global, tetapi sekarang dihapus dalam Protokol Montreal. Karbon dioksida, chlorofluorocarbon, metan, asam nitrat adalah gas-gas polutif yang terakumulasi di udara dan menyaring banyak panas dari matahari. Sementara lautan dan vegetasi menangkap banyak CO2, kemampuannya untuk menjadi “atap” sekarang berlebihan akibat emisi. Ini berarti bahwa setiap tahun, jumlah akumulatif dari gas rumah kaca yang berada di udara bertambah dan itu berarti mempercepat pemanasan global.

Sepanjang seratus tahun ini konsumsi energi dunia bertambah secara spektakuler. Sekitar 70% energi dipakai oleh negara-negara maju; dan 78% dari energi tersebut berasal dari bahan bakar fosil. Hal ini menyebabkan ketidakseimbangan yang mengakibatkan sejumlah wilayah terkuras habis dan yang lainnya mereguk keuntungan. Sementara itu, jumlah dana untuk pemanfaatan energi yang tak dapat habis (matahari, angin, biogas, air, khususnya hidro mini dan makro), yang dapat mengurangi penggunaan bahan bakar fosil, baik di negara maju maupun miskin tetaplah rendah, dalam perbandingan dengan bantuan keuangan dan investasi yang dialokasikan untuk bahan bakar fosil dan energi nuklir. Penggundulan hutan yang mengurangi penyerapan karbon oleh pohon, menyebabkan emisi karbon bertambah sebesar 20%, dan mengubah iklim mikro lokal dan siklus hidrologis, sehingga mempengaruhi kesuburan tanah.

Pencegahan perubahan iklim yang merusak membutuhkan tindakan nyata untuk menstabilkan tingkat gas rumah kaca sekarang di udara sesegera mungkin; dengan mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 50%, demikian Panel Inter Pemerintah. Jika tidak melakukan apa-apa maka hal-hal berikut akan membawa dampak yang merusak.

Sejumlah konsekuensi pun akan dapat kita rasakan akibat pemanasan global tersebut. Adapun konsekuensinya adalah seperti berikut :

· Kenaikan permukaan laut yang membawa dampak luas bagi manusia; terutama bagi penduduk yang tinggal di dataran rendah, di daerah pantai yang padat penduduk di banyak negara dan di delta-delta sungai. Negara-negara miskin akan dilanda kekeringan dan banjir. Salah satu perkiraan adalah bahwa sekitar tahun 2020 sekitar _ penduduk dunia terancam bahaya kekeringan dan banjir. Negara-negara miskin akan menderita luar biasa akibat perubahan iklim – sebagian karena letak geografisnya dan juga karena kekurangan sumber alam untuk penyesuaian dengan perubahan dan melawan dampaknya.

· Manusia dan spesies lainnya di planet sudah menderita akibat perubahan iklim. Proyeksi ilmiah menunjukkan adanya peluasan dan peningkatan penderitaan, misalnya, tekanan panas, bertambahnya dan berkembangnya serangga yang menyebabkan penyakit tropis baik di utara maupun selatan katulistiwa. Juga adanya rawan pangan yang makin menignkat.

· Biaya tahunan untuk menangkal pemanasan global dapat mencapai 300 miliar dollar, 50 tahun ke depan jika tidak diambil tidakan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Jika pemimpin politik kita dan pembuat kebijaksanaan politik tidak bertindak cepat, dunia ekonomi akan menderita kemunduran serius. Selama dekade lalu bencana alam telah mengeruk dana sebesar 608 milliar dollar.

· Wakil PBB untuk Program Lingkungan Hidup mengemukakan pada Konvensi Kerangka Kerja PBB pada Konferensi Perubahan Iklim ke-7 di Maroko November 2001 bahwa panen makanan pokok seperti gandum, beras dan jagung dapat merosot sampai 30% seratus tahun mendatang akibat pemanasan global. Mereka cemas bahwa para petani akan beralih tempat olahan ke pegunungan yang lebih sejuk, menyebabkan terdesaknya hutan dan terancamnya kehidupan di hutan dan terancamnya mutu serta jumlah suplai air. Penemuan baru ini menunjukkan bahwa sebagian besar dari rakyat pedesaan di negara berkembang sudah mengalami dan menderita kelaparan dan gizi buruk tersebut.

4. Hubungan Kebakaran Hutan, Emisi Karbon, Pemanasan Global dan Perubahan Iklim

Di saat kompleksitas ekosistem global sedikit demi sedikit dimengerti, interaksi antara satu kejadian alam dengan yang lainnya menjadi lebih jelas. Hal ini berlaku pada fenomena perubahan iklim global dengan penyebab sekaligus dampak yang menyertainya di Indonesia, yaitu kebakaran hutan dan lahan. Kebakaran hutan dan lahan seakan sudah menjadi tradisi tahunan di Indonesia, terutama setiap kali musim kemarau datang. Pada kejadian kebakaran berskala besar di tahun 1997-98, diestimasi sekitar 10 juta hektar lahan yang rusak atau terbakar, dengan kerugian untuk Indonesia terhitung 3 milyar dollar Amerika. Kejadian ini sekaligus melepaskan emisi gas rumah kaca (GRK) sebanyak 0,81-2,57 Gigaton karbon ke atmosfer (setara dengan 13-40% total emisi karbon dunia yang dihasilkan dari bahan baker fosil per tahunnya) yang berarti menambah kontribusi terhadap perubahan iklim dan pemanasan global.

Dampak penting dari kebakaran hutan dan lahan sangat dirasakan terutama oleh masyarakat yang menggantungkan hidupnya kepada hutan, satwa liar (seperti gajah, harimau, dan orang utan) yang kehilangan habitatnya, sektor transportasi karena terganggunya jadwal penerbangan, dan juga masyarakat secara keseluruhan yang terganggu kesehatannya karena terpapar polusi asap dari kebakaran. Tercatat sekitar 70 juta orang di enam negara di ASEAN terganggu kesehatannya karena menghirup asap dari kebakaran di Indonesia pada tahun 1997-1998. Seperti terdapat dalam satu lingkaran, selain berkontribusi terhadap akumulasi GRK di atmosfer dengan bertambahnya emisi karbon dunia, kebakaran hutan dan lahan juga dipicu oleh meningkatnya pemanasan global itu sendiri – dengan penyebab utama tetap merupakan akibat ulah manusia yang melakukan pembakaran dalam upaya pembukaan hutan dan lahan untuk hutan tanaman industri/HTI, perkebunan, pertanian, dll (lihat Gambar 1). Kemarau ekstrim, yang seringkali dikaitkan dengan pengaruh iklim El NiƱo, memberikan kondisi ideal terjadinya kebakaran hutan dan lahan.

Setiap tahunnya dalam musim kemarau, hampir berturut-turut, kejadian kebakaran hutan dan lahan berulang dengan berbagai tingkatan. Pada tahun 2002 dan 2005, kebakaran hutan dan lahan terjadi kembali dengan skala yang cukup besar terutama diakibatkan oleh konversi hutan di lahan gambut. Dari data yang terkumpul terhitung sejak 1997-1998, rata-rata 80% kebakaran hutan dan lahan terjadi di lahan gambut. Data yang dianalisis WWF-Indonesia menunjukkan bahwa di Provinsi Kalimantan Tengah mayoritas kejadian kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2002-2003 terjadi di lahan gambut. Sedangkan, di Provinsi Riau dalam periode tahun 2001-2006, sekitar 67% kebakaran terjadi di lahan gambut (CRISP, 2005).

Hutan pada lahan gambut mempunyai peranan penting dalam penyimpanan karbon (30% kapasitas penyimpanan karbon global dalam tanah) dan moderasi iklim sekaligus memberikan manfaat keanekaragaman hayati, pengatur tata air, dan pendukung kehidupan masyarakat. Indonesia memiliki 20 juta hektar lahan gambut yang terutama terletak di Sumatera (Riau memiliki 4 juta hektar) dan Kalimantan. Pondasi utama dari lahan gambut yang baik adalah air. Bila terjadi pembukaan hutan gambut maka hal ini akan mempengaruhi unit hidrologinya. Dengan sifat gambut yang seperti spons (menyerap air), maka pada saat pohon ditebang, akan terjadi subsidensi sehingga tanah gambut yang sifatnya hidropobik tidak akan dapat lagi menyerap air dan kemudian mengering. Dalam proses ini, terjadilah pelepasan karbon dan sekaligus mengakibatkan lahan gambut rentan terhadap kebakaran yang pada gilirannya dapat menyumbangkan pelepasan emisi karbon lebih lanjut.

Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup, diperkirakan lahan gambut di Riau saja menyimpan kandungan karbon sebesar 14.605 juta ton. Bila pembukaan lahan gambut dibiarkan, apalagi diikuti dengan pembakaran hutan dan lahan, maka dapat dibayangkan berapa banyak karbon yang terlepas ke atmosfer dan pemanasan global ataupun perubahan iklim menjadi lebih cepat terjadi, sekaligus dampak ikutan seperti asap dan lainnya akan terus dirasakan oleh masyarakat setiap tahunnya.

Untuk itu, pihak pemerintah, swasta dan masyarakat luas bersama-sama harus dapat mencegah kejadian kebakaran hutan dan lahan terutama:

· Pembukaan lahan gambut harus dihentikan dan semua lahan gambut harus dilindungi dan dikelola secara seksama dengan memperhatikan tata hidrologi secara makro dan potensi lepasnya emisi karbon ke atmosfer.

· Sektor swasta harus menerapkan praktek pengelolaan lestari dan bertanggung jawab, termasuk meniadakan pembakaran lahan dan melindungi daerah-daerah yang memiliki keanekaragaman hayati di sekitar konsesi mereka.

· Harus ada mekanisme terpadu untuk mengkoordinasi pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan, mensinergikan dan menerapkan peraturan terutama terkait perlindungan lingkungan.

· Masyarakat setempat harus diberdayakan oleh pemerintah dan sektor swasta dalam pengelolaan lahan yang lestari, terutama membantu petani/ pekebun skala kecil dalam proses transfer ilmu dan teknologi untuk menerapkan pembukaan lahan tanpa bakar.

5. Peran Hutan Dalam Pengendalian Pemanasan Global

Beberapa tahun terakhir ini penjarahan hutan atau penebangan liar di kawasan hutan makin marak terjadi dimana-mana seakan-akan tidak terkendali. Ancaman kerusakan hutan ini jelas akan menimbulkan dampak negatif yang luar biasa besarnya karena adanya efek domino dari hilangnya hutan, terutama pada kawasan-kawasan yang mempunyai nilai fungsi ekologis dan biodiversitas besar. Badan Planologi Departemen Kehutanan melalui citra satelit menunjukkan luas lahan yang masih berhutan atau yang masih ditutupi pepohonan di Pulau Jawa tahun 1999/2000 hanya tinggal empat persen saja. Kawasan ini sebagian besar merupakan wilayah tangkapan air pada daerah aliran sungai (DAS). Akibat dari kejadian ini tidak saja hilangnya suatu kawasan hutan yang tadinya dapat mendukung kehidupan manusia dalam berbagai aspek misal kebutuhan akan air, oksigen, kenyamanan (iklim mikro), keindahan (wisata), penghasilan (hasil hutan non kayu dan kayu), penyerapan carbon (carbon sink), pangan dan obat-obatan akan tetapi juga hilanglah biodiversity titipan generasi mendatang. Saat ini di dunia internasional telah berkembang trend baru melalui perdagangan karbon (CO2).

Perdagangan karbon diawali dengan disepakatinya Kyoto Protocol bahwa negara-negara penghasil emisi karbon harus menurunkan tingkat emisinya dengan menerapkan teknologi tinggi dan juga menyalurkan dana kepada negara-negara yang memiliki potensi sumberdaya alam untuk mampu menyerap emisi karbon secara alami misalnya melalui vegetasi (hutan). Indonesia dengan luas hutan tersebar ketiga di dunia, bisa berperan penting untuk mengurangi emisi dunia melalui carbon sink. Hal ini bisa terjadi jika hutan yang ada dijaga kelestariannya dan melakukan penanaman (afforestasi) pada kawasan bukan hutan (degraded land). Serta melakukan perbaikan kawasan hutan yang rusak (degraded forest) dengan cara penghutanan kembali (reforestasi).

Hutan Pinus di Indonesia sebagai salah satu hutan tanaman yang memiliki nilai ekonomi strategis dan persebarannya yang cukup luas saat ini diandalkan sebagai penghasil produk hasil hutan non kayu melalui produksi getahnya. Nilai ekonomi hutan Pinus dianggap masih rendah apabila hanya dihitung dari nilai getah dan kayunya saja, sudah saatnya dilakukan upaya penghitungan manfaat hutan sebagai penyedia jasa lingkungan yang diharapkan mampu memberikan nilai ekonomi lebih tinggi dengan mengetahui berbagai kemampuannya dalam menyediakan sumberdaya air, penyerap karbon, penghasil oksigen, jasa wisata alam, satwa, biodiversitas dan sebagainya.

Hutan dengan penyebarannya yang luas, dengan struktur dan komposisinya yang beragam diharapkan mampu menyediakan manfaat lingkungan yang amat besar bagi kehidupan manusia antara lain jasa peredaman terhadap banjir, erosi dan sedimentasi serta jasa pengendalian daur air. Peran hutan dalam pengendalian daur air dapat dikelompokkan sebagai

berikut :

1. Sebagai pengurang atau pembuang cadangan air di bumi melalui proses :

a) Evapotranspirasi

b) Pemakaian air konsumtif untuk pembentukan jaringan tubuh vegetasi.

2. Menambah titik-titik air di atmosfer.

3. Sebagai penghalang untuk sampainya air di bumi melalui proses intersepsi.

4. Sebagai pengurang atau peredam energi kinetik aliran air lewat :

a) Tahanan permukaan dari bagian batang di permukaan

b) Tahanan aliran air permukaan karena adanya seresah di permukaan.

5. Sebagai pendorong ke arah perbaikan kemampuan watak fisik tanah untuk memasukkan air lewat sistem perakaran, penambahan bahan organik ataupun adanya kenaikan kegiatan biologik di dalam tanah.

Siklus karbon di dalam biosfer meliputi dua bagian siklus penting, di darat dan di laut. Keduanya dihubungkan oleh atmosfer yang berfungsi sebagai fase antara. Siklus karbon global melibatkan transfer karbon dari berbagai reservoir. Jika dibandingkan dengan sumber karbon yang tidak reaktif, biosfer mengandung karbon yang lebih sedikit, namun demikian siklus yang terjadi sangat dinamik di alam (Vlek, 1997).

Sejumlah besar kalsium karbonat dalam lebih dari 10 juta tahun yang lalu telah terlarut dan tercuci dari permukaan daratan. Sebaliknya, dalam jumlah yang sama telah terpresipitasi dari air laut ke dalam lantai dasar laut. Waktu tinggal (residence time) karbon di dalam atmosfer dalam pertukarannya dengan hidrosfer berkisar antara 5 – 10 tahun, sedangkan dalam pertukarannya dengan sel tanaman dan binatang sekitar 300 tahun. Hal ini berbeda dalam skala waktu dibandingkan dengan residence time untuk karbon terlarut (ribuan tahun) dan karbon dalam sedimen dan bahan bakar fosil (jutaan tahun) (Vlek, 1997 dalam Herman Widjaja, 2002). Dari hasil inventarisasi gas-gas rumah kaca di Indonesia dengan menggunakan metoda IPCC 1996, diketahui bahwa pada tahun 1994 emisi total CO2 adalah 748,607 Gg (Giga gram), CH4 sebanyak 6,409 Gg, N2O sekitar 61 Gg, NOX sebanyak 928 Gg dan CO sebanyak 11,966 Gg. Adapun penyerapan CO2 oleh hutan kurang lebih sebanyak 364,726 Gg, dengan demikian untuk tahun 1994 tingkat emisi CO2 di Indonesia sudah lebih tinggi dari tingkat penyerapannya. Indonesia sudah menjadi net emitter, sekitar 383,881 Gg pada tahun 1994. Hasil perhitungan sebelumnya, pada tahun 1990, Indonesia masih sebagai net sink atau tingkat penyerapan lebih tinggi dari tingkat emisi. Berapapun kecilnya Indonesia sudah memberikan kontribusi bagi meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca secara global di atmosfer (Widjaja, 2002).

Banyak pihak yang beranggapan bahwa melakukan mitigasi secara permanen melalui penghematan pemanfaatan bahan bakar fosil, teknologi bersih, dan penggunaan energi terbarukan, lebih penting daripada melalui carbon sink. Hal ini dikarenakan hutan hanya menyimpan karbon untuk waktu yang terbatas (stock). Ketika terjadi penebangan hutan, kebakaran atau perubahan tata guna lahan, karbon tersebut akan dilepaskan kembali ke atmosfer (Rusmantoro, 2003).

Carbon sink adalah istilah yang kerap digunakan di bidang perubahan iklim. Istilah ini berkaitan dengan fungsi hutan sebagai penyerap (sink) dan penyimpan (reservoir) karbon. Emisi karbon ini umumnya dihasilkan dari kegiatan pembakaran bahan bakar fosil pada sektor industri, transportasi dan rumah tangga. Pada kawasan hutan Pinus di DTA Rahtawu dengan umur tegakan 30 tahun mempunyai potensi penyimpanan karbon sebesar 147,84 ton/ha dengan prosentase penyimpanan terbesar pada bagian batang (73,46%), kemudian cabang (16,14%), kulit (6,99%), daun (3,17%) dan bunga-buah (0,24%). Dari data diatas dapat diprediksi kemampuan hutan pinus dalam menyimpan karbon melalui pendekatan kandungan C-organik dalam biomas memiliki potensi penyimpanan mencapai 44% dari total biomasnya. Sehingga DTA Rahtawu dengan luasan 101,79 ha memiliki potensi penyimpanan karbon dalam tegakan sebesar 15.048,5 ton, penyimpanan karbon dalam seresah sebesar 510 ton dan dalam tumbuhan bawah sebesar 91 ton karbon. (Suryatmojo, H., 2004)

6. Penutup

Keberadaan hutan sebagai bagian dari sebuah ekosistem yang besar memiliki arti dan peran penting dalam menyangga sistem kehidupan. Berbagai manfaat besar dapat diperoleh dari keberadaan hutan melalui fungsinya baik sebagai penyedia sumberdaya air bagi manusia dan lingkungan, kemampuan penyerapan karbon, pemasok oksigen di udara, penyedia jasa wisata dan mengatur iklim global.

Dalam pengelolaan hutan, sudah saatnya didorong untuk mempertimbangkan manfaat, fungsi dan untung-rugi apabila akan dilakukan kegiatan eksploitasi hutan. Berapa banyak nilai dari fungsi yang hilang akibat kegiatan penebangan hutan pada kawasan-kawasan yang memiliki nilai strategis seperti pada kawasan hutan di daerah hulu DAS, sehingga pertimbangan-pertimbangan tersebut dapat dijadikan sebagai masukan dan bahan pertimbangan dalam melakukan perencanaan dan pengelolaan hutan di Indonesia.

Pengendalian dan pelestarian hutan merupakan suatu cara yang efektif dalam penanggulangan dampak pemanasan global yang tengah terjadi. Beberapa kemungkinan penyebab emisi karbon dapat direduksi dengan penanaman kembali beberapa jenis pohon yang dapat menyerap dan menanggulangi dampak dari hal tersebut. Dengan demikian perubahan iklim serta kerugian – kerugian bagi kehidupan pun akan dapat terkendalikan dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

Rizaldi, 2003. “Carbon Trading” Membisniskan Hutan Tanpa Merusaknya, Artikel Kompas tanggal 7 Nopember 2003.

Rusmantoro, W., 2003. Hutan Sebagai Penyerap Karbon, Artikel Internet dalam Spektrum Online.

Seyhan, E., 1990. Dasar-dasar Hidrologi (terjemahan Fundamentals of Hydrology oleh Sentot Subagya) Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Sri Astuti Soedjoko, Suyono, Darmadi, 1998. Kajian Neraca Air di Hutan Pinus. Makalah Seminar Pengelolaan Hutan dan Produksi Air untuk Kelangsungan Pembangunan, 23 September 1998, Jakarta.

Suryatmojo, H., 2004. Peran Hutan Pinus Sebagai Penyedia Jasa Lingkungan Melalui Penyimpanan Karbon dan Penyediaan Sumberdaya Air. Hasil Penelitian, Yogyakarta.

http://www.wwf.or.id/climate

http://www.greenpeace.org/

http://www.climatevoice.org/

http://www.panda.org/resources/publications/climate/crisis/crisis.htm

http://www.ucsusa.org/warming/index.html